Senin, 09 Maret 2009

Blog Entry Batombe : Budaya Khas Masyarkat Nagari Abai

Doeloe, batombe menjadi penyemangat orang-orang yang sedang bekerja mengambil kayu di hutan untuk membuat rumah gadang. Kini, tradisi budaya ini tetap dilestarikan untuk acara pesta perkawinan, pengangkatan datuak, dan upacara adat lain, termasuk sebagai sajian khusus untuk rombongan wisatawan yang berkunjung ke Nagari Abai.

Jauh sebelum masa penjajahan Belanda, Nagari Abai masih begitu sunyi. Wilayahnya diselimuti hutan belantara berikut satwa liar yang hidup bebas di dalamnya. Penduduknya masih sedikit, hanya terdiri dari beberapa keluarga yang hidup rukun, tenang, dan bersahaja.

Suatu hari, pemuka adat, agama, dan tokoh masyarakat Abai berkumpul. Mereka membicarakan sesuatu `proyek' besar, yakni membuat rumah gadang (besar) pertama di Nagari Abai. Maksud dan tujuan pembuatan rumah gadang tersebut untuk menjaga keselamatan warga dari binatang buns, rumah tinggal, sekaligus tempat pertemuan, dan pusat seni dan budaya masyarakat Abai. Maklum meskipun hidup di pelosok, jauh dari keramaian, masyarakat Abai memiliki cara menghibur sendiri untuk mengusir sepi. Dalam pertemuan itu, mereka akhirnya mufakat untuk membuat rumah gadang. Bahan bakunya diambil dari hutan yang ada di sekeliling tempat tinggal mereka.

Pagi itu, Nagari Abai tidak seperti biasanya. Di tepi hutan, masyarakat berkumpul. Ada orang tua, muda-mudi, dan anak-anak. Semua nampak sibuk dengan tugas masing-masing. Kaum pria dewasa membawa alat-alat untuk menebang kayu. Mereka menuju hutan untuk menebang pohon besar secara bergotong royong. Sebagian lagi membersihkan batang pohon untuk dijadikan tiang. Batang pohon lainnya dipotong-potong menjadi balok, papan, dan sebagainya. Sementara kaum ibu menyiapkan makanan dan minuman ala kadarnya.

Tak terasa matahari sudah di atas kepala. Mereka pun beristirahat sejenak sambil menikmati makan siang bersama. Ketika itulah beberapa muda-mudi termasuk orangtua berpantun irama seperti sedang melantunkan lagu. Pantun yang mereka bawakan berisi kata-kata semangat. Kemudian mereka menari bersama. Tarian mereka energik. Pantunan dan tarian yang mereka bawakan itu kemudian dikenal dengan batombe. Mereka sengaja menampilkan batombe agar kaum pria yang sedang bekerja membuat rumah gadang kembali bersemangat mengambil kayu di hutan.

Saat mengambil kayu di hutan, ada kejadian aneh. Sebatang kayu usai ditebang tidak bisa ditarik untuk dijadikan tiang rumah gadang. Kemudian warga Abai menyembelih seekor kerbau. Akhirnya kayu tersebut bisa ditarik oleh beberapa warga Abai dengan menggunakan tali panjang. Sejak kejadian itu, dalam penyelenggaraan batombe selalu menyembelih kerbau atau sapi minimal seekor kambing. Kalau tidak dikenai denda adat. Dengan kata lain berhutang.

Setelah beberapa hari bekerja keras secara gotong royong, akhirnya rumah gadang yang diimpikan rampung. Masyarakat Abai pun bergembira dan bangga bisa menyelesaikan rumah gadang pertama di nagarinya.

Itulah makna sejati, awal kesenian batombe di Nagari Abai, yakni menyemangati orang-orang yang mengambil kayu di hutan untuk membangun rumah gadang pertama di Abai. Dewasa ini, rumah gadang tersebut menjadi rumah gadang terpanjang di Sumatera Barat yang dikenal dengan sebutan Rumah Gadang 21 Ruang.

Kini batombe mengalami perubahan makna. Maklum semenjak tahun 60-an, sudah tidak ada lagi pembangunan rumah gadang di daerah ini. Kendati begitu tradisi batombe tetap dilestarikan, namun dipakai untuk hiburan pada pesta perkawinan dan upacara-upacara adat lain yang dalam penyelenggaraannya minimal membantai seekor jawi (sapi). Dan kini batombe pun menjadi suguhan khas kesenian lokal untuk para wisatawan yang berkunjung ke Nagari Abai.

Ajang Cari Jodoh

Menurut buku profil Budaya dan Pariwisata Kabupaten Solok Selatan, hasil kerjasama Bapedda Solsel dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Padang, batombe adalah salah satu bentuk kesustraan Minangkabau yang dimiliki oleh masyarakat Abai. Batombe ini adalah sejenis pantun yang berfungsi sebagai sebuah ungkapan rasa dan perasaan hati yang memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Abai. Dengan kata lain batombe merupakan seni berbalas pantun antara pria dan perempuan yang kemudian menjadi budaya Minangkabau yang sakral. banyak keunikan di dalam batombe, salah satunya adanya kesempatan seorang pemain batombe untuk mendapatkan jodoh dengan cara membalas pantun secara spontan.


Seperti sore itu, ketika beberapa orang Jakarta berkunjung ke Nagari Abai.
Batombe pun disajikan di dalam Rumah Gadang 21 Ruang yang masih berdiri kokoh. beberapa warga nampak berkumpul di depan rumah gadang yang berada di tepi jalan utama. Tak berselang lama, warga yang datang semakin banyak. Mereka berdatangan setelah mendengar ajakan tokoh masyarakat lewat pengeras suara untuk berkumpul di rumah gadang tersebut.

Di ruang dalam Rumah Gadang 21 Ruang, juga sudah ada beberapa warga Abai, baik orang tua maupun anak-anak. Beberapa orang terlihat sibuk mempersiapkan alat pengeras suara yang akan dipergunakan untuk para pelantun batombe.

Di ruangan khusus yang digunakan untuk pertunjukan batombe dihias sedemikian rupa. dinding dan plafonnya dilapisi kain bermotif kotak, segitiga, dan garis berwarna merah, kuning, hijau, putih, biru dan hitam. Bagian atapnya dihiasi potongan-potongan kain yang menjuntai ke bawah dengan warna-warni cerah. Begitu pun pintu masuknya diberi hiasan kain berbentuk pintu melengkung aneka corak dan warna meriah. Sedangkan sebuah tiang kayu yang ada di tengah ruangan itu, dibiarkan telanjang apa adanya.


Di dalam ruangan yang diberi lampu penerang listrik itu, juga sudah berkumpul para pemain batombe dan warga Abai. Mereka duduk bersila dengan tenang di atas lantai beralas tikar berwana cerah pula. Para pemain batombe mengenakan pakaian khusus, sepintas mirip pakaian pemain pencak silat. Bedanya, pakaian berlengan panjangnya diberi motif sulaman benang emas di bagian leher dan lengan. Warna pakaiannya pun bermacam-macam, ada merah, hijau dan hitam yang dilengkapi ikat kepala berwarna kuning keemasan serta sehelai kain yang diikatkan dipingang. Sedangkan celana panjangnya dirancang komprang atau lebih besar pada bagian pahanya, seperti sarung.

Tak lama kemudian tokoh masyarakat setempat memberi sambutan sebagai pengantar sekaligus ucapan selamat datang kepada para tamu. Lalu para pemain batombe saling berpantun irama dengan menggunakan bahasa daerah setempat. Isinya tentang kisah nasihat orangtua kepada anak, pergaulan, percintaan, dan sebagainya. Pantun ini dilakukan secara bergantian. pertama dilakukan olek pria kemudian disusul wanitanya. Sayangnya dalam pertunjukan ini tidak ada sinopsis yang menceritakan tentang isi pantun tersebut. Alhasil, tamu dari Jakarta yang tidak mengerti bahasa setempat kesulitan menangkap isi pantun.

Usai berpantun, kemudian para pemain batombe keluar dari ruangan, diikuti warga dan tamu yang hadir.
Di luar Rumah Gadang 21 Ruang, hari sudah gelap. Lampu listrik yang ada di ruangan dalam pun dipindahkan ke luar sebagai penerang, begitu juga alat pengeras suaranya yang kemudian ditempatkan di alas meja kayu. Beberapa warga Abai sudah sedari tadi berkumpul. Mereka begitu antusias menyaksikan sajian batombe selanjutnya. Maklum mereka jarang mendapat hiburan, wajar kalau setiap ada penyelenggaraan batombe selalu ramai disaksikan warga Abai. Seperti malam itu, mereka ada yang duduk dan berdiri di pintu masuk, di tepian, dan luar pagar rumah gadang. Beberapa orang lagi menyaksikan batombe dari dalam rumah gadang lewat jendela yang bertirai kawat hitam.

Tak lama kemudian, sembilan pria dan tiga orang perempuan pemain batombe membentuk lingkaran. Satu orang pria lagi berada di tengah lingkaran sebagai penyanyi. Kemudian mereka melakukan gerakan berputar dan kemudan berbalik namun tetap dalam bentuk lingkaran sambil bernyanyi. Gerakan penari lelaki sesekali memukul bagian celananya yang komprang dengan kedua tangan seolah bertepuk tangan sehingga menimbulkan suara khas, bugh-bugh-bugh.

Semakin lama gerakan mereka semakin cepat dan dinamis. Warga yang menyaksikan batombe semakin hanyut. Beberapa bocah laki-laki dan perempuan turut bernyanyi dan mengikuti gerakan pemain batombe. Bukti bahwa mereka ikut terhibur dengan sajian batombe. Dan kelak, bisa jadi bocah-bocah itu menjadi pemain batombe selanjutnya. Secara keseluruhan batombe memang menarik dijadikan suguhan bagi rombongan wisatawan yang berkunjung di Nagari Abai.

Namun yang perlu diperhatikan, durasi berpantun dan menarinya jangan terlalu panjang agar tidak membosankan penonton. Selain itu, sebaiknya dalam pementasan batombe disertai dengan penterjemah dan sinopsis berbahasa Indonesia maupun Inggris yang menjelaskan mengenai sejarah batombe dan isi pantunnya yang dibagikan kepada wisatawan. Lebih baik lagi kala sinopsisnya itu dibuat beberapa versi bahasa asing lain sesuai dengan asal negara wisatawan yang datang secara individu maupun rombongan.

Tips Perjalanan

Untuk melihat kesenian batombe ini kita bisa berkunjung ke Rumah Gadang 21 Ruang yang berada Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Dahulu untuk menuju daerah ini masih banyak mengalami kesulitan lantaran jalannya belum beraspal. Kini, kondisi jalannya sudah baik dan bisa dilalui oleh kendaraan beroda empat maupun beroda dua. Kalau Anda berangkat dari Jakarta, ambil pesawat tujuan Padang. Dari Bandara Internasional Minagkabau (BIM), Kota Padang, Anda bisa mencarter mobil travel ke Padang Aro, Ibukota Kabupaten Solok Selatan. Selanjutnya ke Nagari Abai sekitar 30 Km dari Padang Aro.

Balairung Sari

Balairung Sari


Pesona plus dari Balairuang Sari:

1. Telah berusia lebih dari 300 tahun.

2. Sebuah bangunan yang mirip dengan "Rumah Gadang" (Rumah Besar Khas Sumatera Barat).

3. Bangunan ini "tanpa dinding" dan "tanpa kamar".

4. Digunakan sebagai tempat mengadakan rapat dan musyawarah

5. Dibangun oleh arsitektur Minangkabau Dt.Tantejo Gurhano

6. Terletak di Nagari Tabek Kec. Pariangan sekitar 11 km dari Kota Batusangkar.

balairuangsari1.jpg
balairuangsari2.jpg


Rumah Adat belimbing

Rumah Adat Kampai Nan Panjang (Rumah Gadang Balimbing)

Pesona plus dari Rumah Gadang Balimbing:

1. Usia bangunan ini telah lebih dari 300 tahun terletak sekitar 13 km dari batusangkar

2. Merupakan rumah hunian dengan arsitektur khas minang yang terdiri dari 7 buah biliak (kamar)

3. Konstuksi bangunan yang "Tanpa Paku".

4. Sebagian besar bangunan ini "belum mengalami pembaruan", baik dari segi struktur maupun bahan bangunan.

5. Pintu kamar yang berbentuk oval dengan diameter ± 30 Cm

balimbing1.jpg
rumahadatbalimbing3.jpg


Pacu itik



Pacu Itiak :

Pacu Itiak (itik) Merupakan satu olah raga unik yang digelar oleh masyarakat Payakumbuh. Itik yang diperlombakan adalah itik khusus yang berusia antara 4-6 bulan. Keunikan dari Perlombaan ini adalah pada tempat penyelenggaraanya yang bukan dilakukan di sungai atau kolammelainkan diudara. Pacu itik dilombakan dengan jarak terbang yang sudah ditentukan seperti 800 m, 1600 m, dan 2000 m. Pemenangnya adalah itik yang dapat terbang diatas jalur yang ditentukan dengan pencapaian garis finish lebih

di copy dari payakumbuhkota.go.id

Pacu Jawi

Tradisi Pacu Jawi di Kabupaten Tanah Datar, Sumbar.

09/03/2009 13:30 - Tradisi
Pacu Jawi, Atraksi Kebanggaan Tanah Datar

Liputan6.com, Tanah Datar: Pacu Jawi. Demikian warga Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat, menyebutnya. Jawi adalah bahasa lokal masyarakat Nagari Parabahan untuk sapi. Atraksi wisata ini merupakan pacuan sapi yang mirip dengan karapan sapi di Madura, Jawa Timur.

Dalam Pacu Jawi, ada sejumlah aturan khusus yang harus dipatuhi pesertanya, baik itu sapi atau joki. Misalnya posisi joki yang harus ada di belakang sapi sambil memegang ekor. Pemenang lomba bukanlah sapi yang lebih dulu mencapai garis akhir, melainkan sapi yang berlari paling lurus. Sapi tersebut harus selesai di lokasi sejajar dengan tempat semula. Aturan lainnya, setiap sapi hanya boleh berlaga sekali.

Akhirnya, musik berbunyi, tanda lomba akan dimulai. Setiap Rabu, kabupaten yang berada 100 kilometer utara dari Padang, Sumbar, ini ramai pengunjung karena diadakan atraksi Pacu Jawi yang digilir antardesa. Sapi-sapi siap bertanding, masyarakat pun merasa bangga dengan potensi tradisi ini.(OMI/Aldian)

by liputan6.com

Adu Kerbau

Adu Kerbau
Tuesday, 11 November 2008
1. Adu Kerbau (Kerbau yang diadu)

Pesona plus dari Adu Kerbau:
a. Dapat disaksikan di tiga nagari yaitu Nagari Pandai Sikek, Nagari Merapi, dan Nagari Aie Angek.
b. Anda dapat menyaksikan kerbau-kerbau yang kuat.

c. Seperti halnya sebuah permainan, pertarungan antara kerbau merupakan tontonan yang mengasyikkan.
d. Biasanya diadakan setelah musim panen, jadi Anda dapat menyaksikan keriangan dari penduduk yang hadir di sana.

adukabau1.jpg
adukabau2.jpg

by tanahdatar.go.id

Sabtu, 28 Februari 2009

Tabuik Pariaman; Ritual dan Pesta Rakyat di 10 Muharam

Pesta tabuik di pantai gondariah Pariaman

Pengarang : Rifki Ferdiansyah
Diterbitkan di: Januari 14, 2009
Kata Tabuik aslinya berasal dari kata Tabut; akar bahasa Arab yang berarti peti atau kotak kayu. Dalam ensiklopedia Islam, Tabut pada mulanya berarti sebuah peti kayu yang dilapisi dengan emas sebagai tempat penyimpanan manuskrip kita Taurat yang ditulis di atas lempengan batu. Alquran menceritakan Tabut dalam kisah Talut dan Jalut. Dikatakan dalam Quran bahwa Tabut merupakan tanda Talut akan menjadi raja; bila Tabut yang telah lama hilang kembali pada pemiliknya, Bani Israel, adalah sebagai tanda Talut akan menjadi raja.

Sore menjelang di Kota Pariaman, Sumatera Barat. Pantai Gondoriah merupakan tempat yang popular di kota tersebut. Dan sore itu, empat hari setelah 10 Muharam tahun ini, Gondoriah dijubeli oleh ribuan manusia. Dua buah benda yang diarak menjadi pusat perhatian; Tabuik!
Masyarakat Minangkabau mengenal Tabuik sebagai pesta rakyat yang tiap tahun digelar di Kota Pariaman. Akan tetapi, Tabuik kali ini tidak lagi sebuah kotak peti kayu yang dilapisi oleh emas. Namun yang diarak oleh warga Pariaman adalah sebuah replica menara tingi yang terbuat dari bamboo, kayu, rotan, dan berbagai macam hiasan. Puncak menara adalah sebuah hiasan yang berbentuk payung besar, dan bukan hanya di puncak, dibeberapa sisi menara hiasan berbentuk payung-payung kecil juga terpasang berjuntai.
Tidak seperti menara lazimnya, bagian sisi-sisi bawah Tabuik terkembang dua buah sayap. Diantara sisi-sisi sayap itu, terpasang pula ornament ekor dan sebuah kepala manusia; sepertinya wajah wanita lengkap dengan kerudung. Bambu-bambu besar menjadi pondasi sekaligus tempat pegangan untuk mengusung Tabuik yang terlihat kokoh dan sangat berat ini. Butuh banyak pria untuk mengangkatnya dan butuh banyak kucuran keringat untuk mengoyaknya.
Selain sebuah prosesi ritual, saat ini Tabuik juga adalah sebuah pesta rakyat di Kota Pariaman. Oleh sebab itu, prosesi ini melibatkan semua lapisan masyarakat Pariaman. Terlihat dari dua Tabuik yang diusung itu; Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Kelompok Tabuik Pasa terdiri dari gabungan 12 desa yang ada di kota tersebut, sementara kelompok Tabuik Subarang terdari dari gabungan 14 desa lainnya. Masyarakat berkelompok dan saling bahu-membahu untuk membuat Tabuik dan mengaraknya.
Menurut beberapa sumber, Tabuik masuk ke Pariaman sekitar tahun 1831 M, dibawa oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India. Prosesi adalah bentuk kegiatan mengenang kejadian di hari Asyura atau 10 Muharam; khususnya mengenang cucu nabi Muhammad SAW, Imam Husain, yang tewas di Padang Karbala. Awalnya kegiatan semacam ini adalah ritual yang dilakukan oleh kelompok muslim Syi’ah; pengikut setia Ali bin Abu Talib (ayah Husein). Meskipun kelompok Syi’ah tidak berkembang di Minangkabau, khususnya Pariaman, tapi tradisi Tabuik ini tetap bertahan hingga sekarang. Walau ada sebagian orang beranggapan bahwa ruh awal dari lahirnya ritual tersebut telah hilang sebagian.
Sumber lain mengatakan bahwa Tabuik adalah kebudayaan yang berkembang dari kebuyaan propinsi tetangga Sumatera Barat, Bengkulu. Di daerah ini juga ada tradisi yang serupa dengan Tabuik Pariaman; dikenal dengan sebutan Tabot. Tidak banyak perbedaan antara Tabuik dengan Tabot membuat kemungkinan ini ada. Apalagi diperkirakan usia prosesi Tabot Bengkulu lebih tua dari pada Tabuik Pariaman; sekitar tahun 1685 M.
Tapi sampai sekarang belum ada sebuah penelitian yang resmi terhadap kebudayaan ini. Sehingga sejarah tentang Tabuik masih sekadar asumsi; belum ke tingkat ilmiah.
Bukan hanya di Bengkulu, prosesi Tabuik juga amat mirip dengan sebuah ritual 10 Muharam yang dilakukan oleh masyarakat di negara Iran; negara muslim Syi’ah. Seperti halnya ritual Tabuik sebagai pagelaran rekontruksi ulang kejadian pembantaian Imam Husein dan pasukannya di Padang Karbala, maka di Iran ada pagelaran serupa yang diberi nama Ta’ziyeh.
Bila dulu Tabuik sebagai symbol ritual bagi pengikut Syi’ah dalam upaya mengumpulkan potongan-potongan tubuh Imam Husein dan selama ritual itu para peserta berteriak “Hayya Husein, hayya Husein, (hidup Husein).” Tapi kini di Pariaman teriakan tersebut telah berganti, para pengusung dan peserta Tabuik akan berteriak “Oyak Husein, oyak Husein,” sembari menggoyang-goyangkan menara Tabuik yang berbentuk menara dengan sayap dan sebuah kepala manusia.
Dari berbagai sumber,